Posted: 04 Dec 2010 02:16 AM PST
Namanya Lolita Danisha. Kami memanggilnya Loli. Ia anak baru di kelas kami. Kulitnya putih rambutnya panjang tergerai. Hobinya memakan permen. Setiap hari ia selalu membawa sekantung penuh permen. Entah permen karet, permen keras, permen empuk atau pun lollipop yang jarang dijual di toko semuanya ia suka dan sudah pernah merasakannya. Sifatnya yang friendly membuat kami mudah berteman dengannya. Walaupun murid baru, ia seperti teman yang sudah lama sekali kami kenal. Kebiasaan mengunyah permen saat jam pelajaran atau membuang permen karet sembarangan seperti sudah menjadi kesehariannya. Berulang kali kami menasihati bahkan memarahi tetapi… GAGAL! Bahkan, rahangnya sudah pernah di operasi karena robek. Lolita … sungguh bukan gadis yang gampang di lupakan. *** “KALIAN MAU???” tanya Loli sambil berteriak. Sungguh memalukan. Saat ini adalah jam istirahat. “aku mau!” kataku ikut bersemangat. “silahkan!” ucapnya menyodorkan sekantong permen. Aku mengambil dua. Lalu diikuti temanku yang lain. setiap melihat Loli, aku seperti memiliki semangat hidup yang baru. Ya, dia mirip adikku, nama adiku Ica, ia meninggal satu tahun lalu karena kecelakaan. Wajahnya, kelakuannya, dan rasa ingin tahunya yang besar, mereka seperti satu. Karena itu aku tak ingin kehilangan Loli. “hei! Kamu ngelamun aja!” kata gadis itu. aku kikuk. “eh, enggak!” lalu ia tersenyum dan duduk di sebelahku. “Kamu ada masalah?” tanyanya sambil tersenyum. Aku menggeleng. “Bohong!” aku tersentak kaget. Dari mana dia tahu aku sedang ada masalah? Dengan gayanya yang khas dia membujukku untuk memberitahunya. Sebenarnya, sangat berat jika harus memberitahukan ini kepada orang lain. ini tentang aku dan orang tuaku. “Kamu nggak mau cerita ya? Ya udah.” Ucapnya agak kecewa. “Kata mamaku, kalau kita punya masalah kita harus cerita! Kita harus keluarin beban itu dari diri kita! Biar lebih ringan dan nggak pusing lagi!” ucapnya. Benar juga katanya. “Kalo aku cerita, nanti kamu bilang sama yang lain,” ia menggeleng. Baik aku akan cerita padanya. “sejak kematian adikku. . . ayah dan ibu selalu bertengkar. Ibu selalu menyalahkan kematian Ica karena Ayah. . .” aku mulai bercerita. “adik kamu umur berapa? Memangnya, gara-gara apa dia meninggal?” tanyanya hati-hati. “umurnya lima tahun. Ica meninggal karena kecelakaan motor. Waktu itu, aku, Ica dan Ayah baru pulang dari Toko Candy. Saat perjalanan pulang sebuah truk dari arah berlawanan ngebut dan tiba-tiba menabrak kami…” aku mulai menangis. Setiap kali mengingatnya, aku selalu mengeluarkan air mata. Tiba-tiba Loli memelukku. Pelukan hangat seorang sahabat. Yang belum pernah kurasakan sebelumnya. “nyawaku dan ayah memang selamat, kami hanya luka ringan. Tapi, Ica . . . dia mental sangat jauh dari tempat kami ditabrak…” “hingga akhrinya dia pergi untuk selamanya.” Loli sangat setia mendengar ceritaku tanpa bosan. “sejak itu Ibu dan Ayah selalu bertengkar. Ibu stress! Mungkin kini ia lupa kalau masih punya aku. Sekarang pun, ayah jarang pulang…” aku tak sanggup meneruskan ceritaku. Sungguh pedih hidupku. Tetapi, benar saja, rasanya beban yang selama ini aku bawa, hilang sudah! Ringan sekali rasanya. “Kamu yang sabar, ya!” dan dukungan-dukungan lain tak habis terlontar dari bibirnya. Mungkin ia sahabat sejatiku dan pengganti adikku. *** Sejak saat itu, kami bersahabat. Hidupku bahagia bersamanya. Hingga suatu hari kami bermusuhan. . . Suatu hari, saat kami sedang berbincang bersama teman-teman, entah disengaja atau tidak ia mengungkap semua rahasiaku. “Tania, kamu kan broken home ya?” tanyanya langsung serasa menusukku. Lalu ia menutup mulut. Sungguh, rasanya sakit sekali di kecewakan dengan sahabat sendiri. Kenapa aku bisa mempercayainya?? Sudah tau dia itu asal bicara! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sekarang aku tidak punya rahasia lagi. Karena rahasiaku sudah terbongkar sekarang! Semua sudah tahu kalau aku broken home! Hampir tak ada yang mau mendekatiku. Loli sibuk memperbaiki suasana yang tak akan berubah. Ia juga selalu datang padaku untuk meminta maaf. Tetapi, aku sudah sangat kecewa padanya. *** Kini aku gadis paling malang sedunia! Memang sih, nggak ada lagi yang berjaga jarak padaku, perlahan aku juga sudah dapat menerima Loli lagi. Aku sadar, aku tak bisa menutupi semua ini terlalu lama, tanpa ku beritahu pun teman-temanku yang lain pun pasti tahu. Dari caraku yang benci rumah, atau tak suka jika membicarakan tentang orang tua. Seperti saat sedang berkemah 3 hari 2 malam yang diadakan Pramuka di sekolahku, disaat teman-temanku yang lain merindukan rumah dan orang tua mereka, aku malah senang berada disana. Padahal keadaan disana sangat menyiksa. Jika mandi harus mengantri, jika malam kedinginan. Tetapi, jujur saja, aku menyukainya. Saat-saat kami bersama. Suasananya sangat kekeluargaan. *** “Tania . . . maafin aku ya! Please!” mohon loli. Sudah satu bulan sejak kejadian itu, aku mengacuhkannya. Saat ini jam pulang sekolah sudah berdentang. Rencananya, aku akan pergi ke Toko Candy, kalian tahu Toko Candy? Toko itu toko yang paliiiiing aku suka! Disana dijual berbagai macam permen. Entah produksi dalam negri atau pun luar negeri semua dijual disana! Aku sering pergi kesana. Mengobati rinduku dengan Ica dan Loli. Diam-diam aku kan juga kangen sahabatku itu. selain itu, disana juga dijual berbagai macam cokelat. Aku sangat menggilai cokelat. Bagiku, cokelat segalanya! Ia lebih baik dari seorang sahabat. Karena, jika aku makan cokelat rasanya aku dapat melupakan sejenak bebanku. Rencananya aku akan memberikan Loli sebuah permen Lolipop yang sangaaat besar! Pasti ia akan senang. tapi, entah kenapa perasaanku tidak enak. Masa bodo ah! Dijalan, aku melihat Loli berjalan sendirian. Itu bukan arah rumahnya! Apa mau kerumahku? Ah! Tidak mungkin! Aku jadi tidak sabar untuk sampai ke Toko Candy. Loli… tunggu kejutanku! Hahaha… *** Akhirnya lollipop seharga dua puluh ribu itu sudah berada di tanganku. Aku pun segera menuju rumah Loli. Tetapi. . . aku melihat gadis yang dikuncir dua dan memakai tas berwarna pink. Wajahnya murung sekali! Wajah itu seperti … Lolita! “Lolita!” panggilku setengah berteriak. Sontak, Loli langsung tersenyum kepadaku. Aku melambaikan tangan padanya. Dia membalas lambaian tanganku. Wajah murungnya berubah menjadi ceria. “TUNGGU AKU DI SANA YA!!!” teriaknya. Loli… sungguh! Aku merindukan suara itu. lalu ia menyebarang. Tetapi . . . “Aaaaaaaaaaaaaaaaa…” teriaknya histeris. Sebuah mobil hitam menghantam tubuh kecilnya. Aku teriak meminta pertolongan. Tangisku meluap. Seluruh warga sekitar segera mengerubungi Loli yang bersimbah darah. Sungguh tragis. Lalu ia di bawa ke Rumah Sakit terdekat. Aku segera menghubungi kedua orang tuanya. Dua jam setelah berada di ruang ICU, nyawa Loli tak dapat tertolong. Darah dari dahinya tak berhenti mengalir. Loli sahabatku… sungguh aku menyesal… menyesal… aku menangis sejadi-jadinya di samping mayatnya. Ini semua salahku! Kenapa aku tak memaafkannya! Kenapa aku membiarkannya sedih! Sungguh, aku menyesal! Aku segera menghampiri kakak Loli. Kurasa ia berumur 17 tahun. “Kakak… maafkan aku!” ucapku lemah. Ia mengangguk. “Bukan salahmu, Dik!” ucap wanita bernama Lila itu. “ini semua salahku, Kak! Loli meninggal karena aku! Aku penyebabnya!” Kak Lila mengeleng keras dan memelukku. “ini takdir. Tuhan telah mengatur semuanya,” ucapnya. Kami menangis sesengkukan di pojok ruangan itu hingga menjelang pagi. *** Satu bulan sejak kematian Loli, aku masih suka menyesal. Menghukum diriku yang bodoh ini. Hampir tiap hari aku mengunjungi makam sahabatku itu. setiap mengunjungi peristirahatan terakhirnya, aku selalu membawa sebuah permen lollipop. Yang kini jumlahnya sudah puluhan. Aku tahu itu tak cukup untuk permintaan maaf. Tetapi, aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku bersyukur, di saat-saat terakhirnya, aku sudah dapat memaafkan dan meminta maaf kepadanya. Dan aku bersyukur akulah yang melihat senyum manisnya untuk yang terakhir. Selamat jalan Cantik… Engkau boleh tiada, tetapi semangatmu terus berkibar dalam hatiku. Aku akan selalu mengenangmu… untuk selamanya…
0 komentar:
Posting Komentar